Prolog

Milano Imanuel adalah remaja SMA korban bully. Dua tahun silam ia mencari ilmu bersamaan melawan rasa takut akibat bullyian dari para siswa sekolahnya yang hampir setiap hari ia terima. Hari ini Milan merasa cukup lelah dengan semuanya, maka sepulang sekolah mengasingkan diri di taman yang jauh dari sekolah serta rumahnya. Netranya terpejam, meringkuk–menenggelamkan wajah, mengistirahatkan diri.

“Hey,” Remaja itu mengangkat wajahnya. Menatap bingung begitu menemukan figur pria dengan setelan jas putih menggantung pada bahunya. Dia dokter? gumam Milan dalam hati.

“Kamu kenapa?” Tanya si pria asing.

“Capek.”

“Boleh saya duduk?”

Tanpa keluarkan suara, Milan menggeser–mempersilahkan pria itu duduk di sampingnya.

“Tapi kamu ganteng kok,” kata figur dokter seusai remaja SMA itu menceritakan semua yang ia alami.

Milan membuang muka ke sembarang arah ; malu... ganteng, katanya.

“Hari ini kamu free?” Milan mengangguk. “Ayo ikut saya, mau?”

“Kemana?”

“Di dekat sini ada klinik punya saya, salah satu perawatannya ada perawatan spesialis kulit,”

“Dokternya galak gak?” Nah ini, Milan takut sekali sama orang galak, sumber ketakutan itu dari orang tuanya. Setiap kali mendengar suara keras, atau bentakan Milano akan merasa kehilangan diri. Entah sampai kapan ia dihantui ketakutan itu. Milan gak berani ke tempat baru yang ramai, takut bertemu manusia galak. Milano punya masa lalu yang buruk, Milano punya masalah keluarga yang buruk.

“Enggak kok, dokternya baik.”

“Nama dokternya siapa?” Tanya Milan hati hati.

“Ethan,” figur dokter menyodorkan tangan, sedang si remaja mematung, menatap tangan dokter yang setia tersodor di depannya. “ Nama saya Ethan, saya dokter yang nangani permasalahan kulit, nanti kamu jadi pasien saya.”

“Milan.” Remaja itu menjabat tangan si dokter.