Sebenarnya.
Pagi hari Naresha terbangun dari tidurnya, suasana hatinya sangat bagus, sebab semalam, ayah benar-benar datang ke mimpinya.
Tapi ada sesuatu yang mengganjal dibenak Naresha. Saat ayah memeluknya erat dan tangannya mengusap kepala Naresha halus, ayah mengucapkan kata yang sama sekali tidak Naresha pahami.
“Maksudnya apa?” “Aku bukan anak— “
“Oey, Kak!” Panggil Jevan, yang entah sejak kapan sudah ada di dalam kamar Naresha, duduk disebelah Naresha yang sedari tadi melamun.
“Ehh? Kenapa, Bang?” Tanya Naresha, ia mengucak matanya yang masih sedikit mengantuk.
“Sepedaan, yuk.” Ajak Jevan.
Naresha tanpa pikir panjang langsung mengangguki ajakan abangnya. “Kapan lagi kan abang Jevan ngajak main bersama.”
“Boleh, kapan?” Tanya Naresha.
“Sekarang lah, yok?! Sana cuci muka, sama ganti baju. Abang tunggu di luar ya.” Naresha mengangguk, kemudian Jevan keluar dari kamar Naresha.
“Tumben?” Naresha bergumam pada diri sendiri.
Bangkit dari duduknya, kemudian mengambil langkah ke kamar mandi untuk membersihkan wajahnya. Selesai dengan urusan kamar mandi, Naresha cepat-cepat mengganti baju tidurnya dengan kaos olah raga.
“Bang, udah.” Naresha mendekati Jevan yang sudah menunggunya di luar rumah.
“Udah? Ya udah, yuk.”
Keduanya berpamitan dengan ibu kemudian pergi bermain sepeda bersama.
Awalnya mereka baik-baik saja, bermain sepeda sembari bergurai bersama.
Saat Jevan melihat ke belakang, kebetulan ada mobil yang akan melaju melewati dirinya dan juga Naresha. Jevan sengaja menggiring sepeda Naresha ke arah tengah jalanan, hingga sampai di tengah Jevan melajukan sepedanya dengan kecepatan penuh.
“Kakak, ayok kejar abang!!” Seru Jevan. Tapi saat Naresha akan menggoes sepedanya dengan kecepatan penuh, seperti abangnya tidak keburu karena dirinya sudah terserempet mobil di sebelahnya. “Ahhh... “
Mobil itu melaju lebih kencang, meninggalkan Naresha yang tergelak di tengah jalan sedang memegang lututnya yang mengeluarkan sedikit darah. “Aduh .... Perih .... ” Naresha mencoba merogoh saku celananya, mencoba mencari ponselnya. Ternyata tidak ada, Naresha lupa membawanya.
Segera Naresha bangun dan meminggirkan sepedanya ke samping, agar tidak menganggu kendaraan yang akan melintas. Lututnya yang berdarah itu, membuatnya sulit untuk menggoes sepedanya. Naresha sudah berusaha berdiri tapi tetap sakit.
Saat itu jalanan terasa sepi, Naresha pasrah. Ia hanya duduk di sebelah sepedanya yang tergelatak, berharap ada seseorang yang kenal dan lewat di jalan itu.
Sudah lebih dari 20 menit Naresha berdiam diri di tepi jalan, namun tidak ada satupun orang lewat yang ia kenal atau orang lewat yang berniat membantunya. Hingga sampai sekiranya sudah lebih dari 35 menit Naresha tersenyum lega, ada mobil yang berhenti yang Naresha yakini mobil itu milik Bang Marta.
“Kakak?!” Naresha menengok ke arah suara yang baru saja memanggilnya.
“Bang— “
“Kamu kenapa disini? Kak, itu lutut kamu berdarah gitu, ya ampun. Ayok masuk ke mobil Abang.” Kemudian Naresha dibantu berdiri sama Marta dan dibawa masuk ke dalam mobilnya.
Naresha tidak tau apakah abang Jevan sengaja atau tidak sengaja? Naresha tidak memikirkan hal itu, yang penting sekarang dirinya sudah aman dibawa bang marta.