With Husban

Leo genggam erat tangan Eci, lalu kecupi penuh sayang. “Maafin mas ya,”

“Bukan salah mas, harusnya aku yang minta maaf karena gak nepatin janji buat jaga diri.”

Memang— bukan salah Leo, sebab sebelum pergi dia sudah berkali-kali tanya, memastikan kalau si cantiknya benar-benar bisa jaga diri, jaga perasaan sampai suaminya kembali. Jawaban Eci selalu, “Yakin mas, aku yakin bisa jaga diri, dan perasaan ini sampai Mas Leo pulang.” Tapi nyatanya semua itu gagal, diri maupun perasaan, figur suster itu gagal menjaga.

Meninggalkan Eci untuk menjalankan tugas mengurus rumah sakit bersamaan menangani pasiennya selama 7 bulan bukan hal mudah, setiap hari ia dilanda kerinduan, rindu segala sentuhan dan perlakuan halusnya. Dia selalu meluangkan waktu untuk menghubungi sosok cantik pujaannya setiap jadwalnya selesai.

Pria tampan itu menarik pelan pinggang si suster untuk dibawa ke rengkuhan. Rambut sebahu disisir halus, lalu kecupi pucuk kepalanya sangat dalam.

“Mas sayang banget sama kamu, kamu tahu kan?”

Eci menganggum, tersenyum teduh, netranya terpejam merasakan hangatnya kasih sayang begitu dalam dari sang suami.

“Mas gak kangen aku?” Eci mendongak, menatap mata suaminya penuh harap.

“Kok nanya gitu? Mas kangen selalu sama kamu sayang.”

“Tapi dari pulang sampai hari ini aku di diemin aja.”

Leo mengerling, seketika langsung paham apa yang dimaksud sama si suster kesayangan.

Diangkatnya dagu Eci, Leo mendekat memangut belah bibir manisnya, rengkuhan kian mengerat, begitu pula dengan Eci yang langsung mengalungkan kedua lengan tangan ke leher suaminya. Membawa tautan bibirnya semakin dalam dan panas, hingga salah satunya keluarkan desah tanpa sengaja.

“Mnghh— “

Leo memutus pangutan, kemudian membaringkan tubuh Eci ke kasur perlahan, penuh hati-hati.

Kedua tangannya bergerak membuka deratan kancing piyama si suster, satu persatu sampai semuanya terlepas, tak menyisakan satupun.

Leo mendusalkan muka ke belahan dada besar Eci, mencium aroma khas wangi sabun mandi bercampur aroma tubuh semerbak memabukan. Memijat gundukan daging gak bertulang dengan tangan besarnya, kemudian diciumi gemas nipple berwarna ping yang sudah mengacung, lidahnya terulur menjilati, sekali-kali dia tatap figur si suster memastikan kalau kesayangannya itu nyaman dengan segala sentuhan yang ia berikan.

Eci itu bagai benda yang mudah rapuh di mata Leo, harus dijaga dan dirawat sepenuh hati, dan penuh hati-hati, tidak boleh terluka atau tergores sedikitpun.

“Kalau sakit jambak aja rambut mas, ya, sayang?”

Eci tarik sudut bibirnya membentuk bulan sabit, lalu mengangguk— meyakinkan sang suami untuk melanjutkan aktifitasnya.

Inisiatif sendiri perlahan menurunkan dalemannya, lalu kedua kakinya mengikat pinggang Leo, mempertemukan kelaminnya sama punya suaminya yang masih terbungkus celana boxer.

“Mas eungh—”