Qistiijyn

“Udah ya,”

“Apa?”

“Ini udah lima detik.”

” Si anjing.”

Tut

Hervi benar-benar melakukan apa yang ia katakan lewat bubble chatnya: menemani televon selama lima detik.

Juniel membanting benda pipih, mengusak rambutnya yang sudah berantakan kini bertambah berantakan. Hampir pukul dua belas malam, Juniel beranjak dari tempat duduknya, meninggalkan ruangan kerja miliknya.

“Udah ya,”

“Apa?”

“Ini udah lima detik.”

” Si anjing.”

Tut

Hervi benar-benar melakukan apa yang ia katakan lewat bubble chatnya: menemani televon selama 5 detik.

Suara bising serta lampu gemerlap menemani pemuda yang sedang diambang kesedihannya di malam ini.

Lagi-lagi ia menuang minuman beralkohol di depan ke dalam gelas miliknya. “Hnggg— anjing!” Umpatnya untuk kesekian kalinya.

“Gue kurang apa coba?! Gue ganteng, badan gue bagus, gue kaya raya, GUE KURANG APA, ANJING! AH BRENGSEK!” Kali ini ia meneguk alkohol itu dari botolnya.

“Hnggha ah pusing banget anjing!” Dengan kemeja putih yang sudah kusut, rambut acak-acakan dan raut wajah yang sudah berantakan ia berjalan gontai, menabrak siapapun di depannya ia tidak peduli.

Sebenarnya.

Pagi hari Naresha terbangun dari tidurnya, suasana hatinya sangat bagus, sebab semalam, ayah benar-benar datang ke mimpinya.

Tapi ada sesuatu yang mengganjal dibenak Naresha. Saat ayah memeluknya erat dan tangannya mengusap kepala Naresha halus, ayah mengucapkan kata yang sama sekali tidak Naresha pahami.

“Maksudnya apa?” “Aku bukan anak— “

“Oey, Kak!” Panggil Jevan, yang entah sejak kapan sudah ada di dalam kamar Naresha, duduk disebelah Naresha yang sedari tadi melamun.

“Ehh? Kenapa, Bang?” Tanya Naresha, ia mengucak matanya yang masih sedikit mengantuk.

“Sepedaan, yuk.” Ajak Jevan.

Naresha tanpa pikir panjang langsung mengangguki ajakan abangnya. “Kapan lagi kan abang Jevan ngajak main bersama.”

“Boleh, kapan?” Tanya Naresha.

“Sekarang lah, yok?! Sana cuci muka, sama ganti baju. Abang tunggu di luar ya.” Naresha mengangguk, kemudian Jevan keluar dari kamar Naresha.

“Tumben?” Naresha bergumam pada diri sendiri.

Bangkit dari duduknya, kemudian mengambil langkah ke kamar mandi untuk membersihkan wajahnya. Selesai dengan urusan kamar mandi, Naresha cepat-cepat mengganti baju tidurnya dengan kaos olah raga.

“Bang, udah.” Naresha mendekati Jevan yang sudah menunggunya di luar rumah.

“Udah? Ya udah, yuk.”

Keduanya berpamitan dengan ibu kemudian pergi bermain sepeda bersama.

Awalnya mereka baik-baik saja, bermain sepeda sembari bergurai bersama.

Saat Jevan melihat ke belakang, kebetulan ada mobil yang akan melaju melewati dirinya dan juga Naresha. Jevan sengaja menggiring sepeda Naresha ke arah tengah jalanan, hingga sampai di tengah Jevan melajukan sepedanya dengan kecepatan penuh.

“Kakak, ayok kejar abang!!” Seru Jevan. Tapi saat Naresha akan menggoes sepedanya dengan kecepatan penuh, seperti abangnya tidak keburu karena dirinya sudah terserempet mobil di sebelahnya. “Ahhh... “

Mobil itu melaju lebih kencang, meninggalkan Naresha yang tergelak di tengah jalan sedang memegang lututnya yang mengeluarkan sedikit darah. “Aduh .... Perih .... ” Naresha mencoba merogoh saku celananya, mencoba mencari ponselnya. Ternyata tidak ada, Naresha lupa membawanya.

Segera Naresha bangun dan meminggirkan sepedanya ke samping, agar tidak menganggu kendaraan yang akan melintas. Lututnya yang berdarah itu, membuatnya sulit untuk menggoes sepedanya. Naresha sudah berusaha berdiri tapi tetap sakit.

Saat itu jalanan terasa sepi, Naresha pasrah. Ia hanya duduk di sebelah sepedanya yang tergelatak, berharap ada seseorang yang kenal dan lewat di jalan itu.

Sudah lebih dari 20 menit Naresha berdiam diri di tepi jalan, namun tidak ada satupun orang lewat yang ia kenal atau orang lewat yang berniat membantunya. Hingga sampai sekiranya sudah lebih dari 35 menit Naresha tersenyum lega, ada mobil yang berhenti yang Naresha yakini mobil itu milik Bang Marta.

“Kakak?!” Naresha menengok ke arah suara yang baru saja memanggilnya.

“Bang— “

“Kamu kenapa disini? Kak, itu lutut kamu berdarah gitu, ya ampun. Ayok masuk ke mobil Abang.” Kemudian Naresha dibantu berdiri sama Marta dan dibawa masuk ke dalam mobilnya.

Naresha tidak tau apakah abang Jevan sengaja atau tidak sengaja? Naresha tidak memikirkan hal itu, yang penting sekarang dirinya sudah aman dibawa bang marta.

Nares mendekati perempuan di dekatnya, kemudian ia menyuarakan suaranya pelan. mengalihkan atensi si perempuan pada kucing jalanan.

“Bahaya lho, buat cewek keluyuran sendirian di malam hari gini.”

Perempuan itu terdiam dalam sekejap, ia terkejut sebab suara laki-laki yang baru saja didengarnya tak asing baginya. Dengan cepat ia membalikan tubuhnya, dan benar saja. Naresha di sana. Nares sama terkejutnya, melihat perempuan di depan adalah orang yang ia kenal sebagai teman dari abangnya.

“Lho? Nares?”

“Oh? Riana?”

Riana mengangguk, senyumnya mengembang. Ternyata Nares Ingat dengan dirinya.

“Lo ngapain jam segini di luar? mana sendirian, lagi.”

“Oh! aku baru pulang, Nares.”

“Dari?” tiba-tiba saja Nares penasaran.

“Dari pemotretan.”

“Lo, model?” Riana mengangguk, Nares ikut mengangguk-ngangguk.

“Kamu sendiri, ngapain?” Riana bertanya balik.

“Gak ngapa-ngapain, cari angin aja.”

. .

“Yahh.... kok kabur” Kucing itu pergi, Riana sedih. sebab makanan yang ia kasih pada kucing itu belum habis.

“Takut sama gue kali.” Nares terkekeh.

“Hahahaa iya kali, ya.” Riana jadi ikut terkekeh.

“Lo suka kasih makan kucing, ya?”

“Iya, aku kemana-mana gak pernah lupa bawa makanan kucing.”

“Di rumah ada kucing?”

“Enggak.”

“Lho.... gimana? kok gak punya kucing beli makanan kucing?”

“Ya, aku beli buat kucing di jalanan kaya gini, Nares. Suka gak tega kalau lihat kucing kelaparan jadi aku selalu bawa makanan kucing di dalam tas.”

Nares mengangguk lucu

“Bang, yang ini Kakak gak paham.”

“Ya lu cari tau, Kak. coba dibaca ulang halaman sebelumnya.”

Nares membaca ulang halaman sebelumnya, sedangkan Jevan masih sama, sibuk bermain game diponselnya.

“Gak paham. Ini umusnya yang mana, Bang?” Nares bertanya lagi.

“Nih.” Jevan dengan cepat menunjuk rumus yang harus Nares pelajari.

“Ah, oke oke.”

“Bang— “

“Lo bisa cari tau sendiri, Naresha! jangan dikit-dikit Bang, dikit-dikit Bang.” tegas Jevan.

Nares mengangguk, kemudian ia fokus lagi dengan bukunya.

“Kalian lagi belajar?”

Jevan mendongak, begitu juga dengan Nares. Perempuan yang berdiri di depan mejanya tersenyum hangat.

“Eh, lho? di sini juga Ri?”

Riana mengangguk, “boleh duduk?” tanyanya dan Jevan mengangguk. Naresha sudah kembali pada bukunya.

“Sendirian, Ri?” Jevan sudah menyudahi acara game pada ponselnya, kemudian meletakkan ponsel di atas meja.

“Iya, Van. tadinya cuma jalan-jalan aja sih, terus masuk sini mau beli kopi, eh liat kalian di sini hehehe.” Jevan mengangguk lagi.

“Hallo, Naresha? Aku yang waktu itu chat kamu lho. Namaku Riana.”

Nares diam, ia tidak merespon tidak juga membalas jabatan tangan Riana.

Di bawah meja kaki Jevan menendang cukup keras kaki Nares. Nares mendongak ke arah Jevan kemudian ditatap tajam mata Nares.

“Oh, nama gue Nares.” Nares membalas jabatan tangan Riana.

“Hmm.” Riana mengangguk lagi.

“Kamu lagi belajar apa, Nares?”

“IPA.” Nares menjawab tegas.

“Lo udah pesen kopinya, Ri?

“Eh? udah kok Van, tinggal nunggu aja.” Jevan mengangguk.

“Kalau mau belajar, terus Jevan sibuk bisa kasih tau aku, Res. Nanti Aku bantu ajarin hehehe.”

Nares hanya mengangguk. “Sibuk apaan coba gue?” tanya Jevan.

Riana terkekeh geli. “Ya kan kamu orang sibuk, Van.”

“Hahahaha gak juga sih, Ri.”

“Eh, Nares. Aku baru tau kalau kamu adiknya Jevan, Kita sering ketemu di sekolah ya kan, Nares. Tapi aku gak pernah nyapa kamu hehehe. maaf ya, soalnya Jevan gak pernah cerita kamu. Dia tuh ceritanya cuma si Jilian, jadi aku taunya Jevan puny— Eh? udah ya mbak? oke.... ” Riana bangkit dari duduknya, “Duluan ya Vin, Nares semangat belajarnya.” Riana berjalan terburu-buru dengan sigap Jevan mencekal tangan Riana.

“Eh Ri! Langsung pulang?”

“Iya, Jev— “

“Gue anter.”

“Lho, terus Nares gimana?”

“Dia bawa motor sendiri.” Jevan berdiri, mengambil kunci motor dari dalam sakunya dan pergi meninggalkan Nares sendiri.

“Bang, yang ini Kakak gak paham.”

“Ya lu cari tau, Kak. coba dibaca ulang halaman sebelumnya.”

Nares membaca ulang halaman sebelumnya, sedangkan Jevan masih sama, sibuk bermain game diponselnya.

“Gak paham. Ini umusnya yang mana, Bang?” Nares bertanya lagi.

“Nih.” Jevan dengan cepat menunjuk rumus yang harus Nares pelajari.

“Ah, oke oke.”

“Bang— “

“Lo bisa cari tau sendiri, Naresha! jangan dikit-dikit Bang, dikit-dikit Bang.” tegas Jevan.

Nares mengangguk, kemudian ia fokus lagi dengan bukunya.

“Kalian lagi belajar?”

Jevan mendongak, begitu juga dengan Nares. Perempuan yang berdiri di depan mejanya tersenyum hangat.

“Eh, lho? di sini juga Ri?”

Riana mengangguk, “boleh duduk?” tanyanya dan Jevan mengangguk. Naresha sudah kembali pada bukunya.

“Sendirian, Ri?” Jevan sudah menyudahi acara game pada ponselnya, kemudian meletakkan ponsel di atas meja.

“Iya, Van. tadinya cuma jalan-jalan aja sih, terus masuk sini mau beli kopi, eh liat kalian di sini hehehe.” Jevan mengangguk lagi.

“Hallo, Naresha? Aku yang waktu itu chat kamu lho. Namaku Riana.”

Nares diam, ia tidak merespon tidak juga membalas jabatan tangan Riana.

Di bawah meja kaki Jevan menendang cukup keras kaki Nares. Nares mendongak ke arah Jevan kemudian ditatap tajam mata Nares.

“Oh, nama gue Nares.” Nares membalas jabatan tangan Riana.

“Hmm.” Riana mengangguk lagi.

“Kamu lagi belajar apa, Nares?”

“IPA.” Nares menjawab tegas.

“Lo udah pesen kopinya, Ri?

“Eh? udah kok Van, tinggal nunggu aja.” Jevan mengangguk.

“Kalau mau belajar, terus Jevan sibuk bisa kasih tau aku, Res. Nanti Aku bantu ajarin hehehe.”

Nares hanya mengangguk. “Sibuk apaan coba gue?” tanya Jevan.

Riana terkekeh geli. “Ya kan kamu orang sibuk, Van.”

“Hahahaha gak juga sih, Ri.”

“Eh—iya, udah ya mbak? oke.... ” Riana bangkit dari duduknya, “Duluan ya Vin, Nares semangat belajarnya.” Riana berjalan terburu-buru dengan sigap Jevan mencekal tangan Riana.

“Eh Ri! Langsung pulang?”

“Iya, Jev— “

“Gue anter.”

“Lho, terus Nares gimana?”

“Dia bawa motor sendiri.” Jevan berdiri, mengambil kunci motor dari dalam sakunya dan pergi meninggalkan Nares sendiri.

sekitar satu minggu yang lalu Juno sudah melakukan aktivitas seperti biasanya, termasuk ke kantornya. iya, dia sudah seminggu ini masuk kantor. sifatnya ke Meika masih sama, dingin. namun tidak terlalu dingin, ada perubahan sama yang dulu, “lumayan lah.” kata Meika.

keduanya tengah duduk dikursi meja makan, sebelum berangkat ke kantor seperti biasa, Juno akan menyantap sarapan pagi buatan Meika. keduanya sibuk dengan piringnya masing-masing.

hingga tiba-tiba Meika mengeluarkan suara. “siang kamu mau makan di kantor? mau aku siapain sekarang biar langsung kamu bawa?”

“di anter aja, nanti.”

Meika bingung, di antar bagaimana? maksudnya, ini gue nganter makanan ke kantornya kak juno, nanti?

“gimana, kak?”

“jam makan siang, lo antar ke kantor gue.”

kemudian Meika mengangguk. entah ini ada makhluk ghaib apa yang merasuki tubuh suaminya, sehingga lelaki itu tiba-tiba saja menyuruh Meika untuk datang ke kantornya.

padahal, biasanya sangat dilarang. semenjak menikah dengan Juno Meika dilarang menginjakkan kaki di kantornya. kalau sebelumnya sering datang ke kantor, tapi waktu itu bertujuan mengantar makanan untuk Nandarsa. pacarnya dulu.

Meika telah menyelesaikan masakan yang akan ia bawakan untuk Juno, ia meletakkan makanan yang sudah di tutup rapat pada kotak makan, Kemudian ia masukan ke dalam tas kecil yang biasa untuk membawa makanan ke butiknya.

Meika sedang sibuk memilah-milih baju yang akan ia kenakan untuk ke kantor Juno. “harus yang bagus sih, harus rapi pokoknya Meika harus cantik.” gumam Meika pada dirinya sendiri.

“WAHH BAGUS NIH.” Meika heboh, menatap takjub baju yang sangat anggun dimata Meika.

kemudian Meika bergegas mencobanya, namun ternyata tidak muat, itu sudah kekecilan. “ah! gak muat. emangnya gue gendutan, ya?”

“engga ah, dasar bajunya aja yang makin lama makin mengecil.” ucapnya lagi pada diri sendiri.

kemudian Meika meletakkan kembali baju itu pada tempatnya.

kembali mencari baju yang bagus. Meika baru sadar setelah melihat jarum jam dinding menunjukkan pukul sebelas lebih sepuluh menit, ternyata ia sudah lama sekali berdiri di depan lemari ini.

dengan cepat Meika bergegas menggunakan baju seadanya, “biarlah yang penting pas dan nyaman.”

selesai memakai baju yang pas dan nyaman pada tubuhnya, Meika memoles sedikit make-up pada wajah mulusnya.

Meika berlari memasuki mobilnya, memutar kunci mobil dan mobil itu berjalan menyusuri jalanan kota yang ramai namun tidak padat.

“jangan macet ya please! bisa kena omel kak Juno gue kalau telat nganter makan siangnya.”

jarak rumah Juno dari kantornya tidak begitu jauh. hanya membutuhkan waktu sekitar 20 menit tapi itu kalau jalanan lancar, kalau macet bisa sampai setengah jam atau bahkan lebih.

sesampainya di kantor Meika berjalan santai, kedatangan Meika di sambut ramah oleh karyawan-karyawan kepercayaan Juno.

“selamat siang, ibu meika.” sapa karyawan yang melewati Meika, dengan ramah Meika menjawab sapaan karyawan itu “iya, siang.” tidak lupa senyumnya mengembang.

tidak sedikit pula yang lewat melewati Meika namun hanya diam, setelah mereka kira jarak Meika dan dirinya sudah lumayan jauh karyawan itu mengeluarkan suaranya “tumbenan tuh bu Meika datang.” “iya, gak tau deh.” jawab temannya.

“pak Juno, ada kan?” tanya Meika pada sekertaris Juno.

“oh ada bu, masuk saja. lagi gak ada tamu, kok.”

Meika mengangguk, “terima kasih.”

Meika membuka pelan pintu ruangan besar Juno, kemudian Meika memasuki ruangan itu. mendapati Juno sedang mengetik di atas laptopnya. “masih sibuk ya, kak?”

Juno masih belum sadar. matanya masih fokus ke depan menatap kurus laptopnya. ia belum tau kalau Meika sudah berada di ruangannya.

“PERMISI BAPAK JUNO.” meika meninggikan suaranya. sedetik kemudian Juno menatap ke arah suara itu, Juno tersenyum menatap Meika. tangannya melambai mengisyaratkan Meika untuk duduk di depannya.

Jantung Meika berdetak tiga kali lebih cepat dari biasanya, “kok, kak Juno manis gini sih?” batin Meika.

Meika berjalan mendekati Juno kemudian duduk di kursi yang di depan Juno.

“udah lama?” tanya Juno, namun pandangannya tetap fokus pada laptopnya.

“baru, kok.”

Juno mengangguk, “tunggu bentar, ini nanggung.”

Sembari menunggu Juno menyelesaikan pekerjaannya, Meika tidak tinggal diam. matanya melihat-lihat seluruh ruangan Juno, banyak foto-foto Juno bersama rekan kerjanya, namun tidak ada satupun foto Juno yang bersama dirinya. Meika tersenyum tertahan “jangan berharap lebih, Meika.” ucapnya dalam hati.

“dahhhh!” Juno munutup laptop, kemudian ia letakkan di meja sebelah kirinya.

“bawa apa?” tanya Juno pada Meika

“spaghetti, kamu mau, kan?” tanya Meika pelan-pelan. kemudian Juno mengangguk. Meika lega.

Meika membuka satu persatu kotak makan. ternyata tak hanya spaghetti saja yang Meika bawa. tapi ada buah dan juga cake di sana.

Juno memakan makanan yang telah di siapkan Meika “enak.” kata Juno, Meika mengangguk ia tersenyum lega.

“habis ini langsung pulang?”

di tengah-tengah makannya Juno bertanya, namun pandangan Meika justru kebibir Juno. Meika mengambil satu lembar tissue, memajukan sedikit tubuh bagian atasnya kemudian ia usapkan tissue itu pada bibir suaminya, “kamu makan kaya anak kecil deh kak, belepotan kemana-mana ini.” gumamnya. ia masih belum sadar bahwa Juno tengah menatap dalam matanya dengan jarak yang lumayan dekat.

“iy—ehh, engga. aku mau ke butik dulu.” Meika tersadar, kemudian dengen cepat ia memundurkan tubuhnya.

Juno tertawa tertahan, “gemes” batinnya.

Pagi yang cerah. sekitar satu minggu yang lalu Juno sudah melakukan aktivitas seperti biasanya, termasuk ke kantornya. iya, dia sudah seminggu ini masuk kantor. sifatnya ke Meika masih sama, dingin. namun tidak terlalu dingin, ada perubahan sama yang dulu, “lumayan lah.” kata Meika.

keduanya tengah duduk dikursi meja makan, sebelum berangkat ke kantor seperti biasa, Juno akan menyantap sarapan pagi buatan Meika. keduanya sibuk dengan piringnya masing-masing.

hingga tiba-tiba Meika mengeluarkan suara. “siang kamu mau makan di kantor? mau aku siapain sekarang biar langsung kamu bawa?”

“di anter aja, nanti.”

Meika bingung, di antar bagaimana? maksudnya, ini gue nganter makanan ke kantornya kak juno, nanti?

“gimana, kak?”

“jam makan siang, lo antar ke kantor gue.”

kemudian Meika mengangguk. entah ini ada makhluk ghaib apa yang merasuki tubuh suaminya, sehingga lelaki itu tiba-tiba saja menyuruh Meika untuk datang ke kantornya.

padahal, biasanya sangat dilarang. semenjak menikah dengan Juno Meika dilarang menginjakkan kaki di kantornya. kalau sebelumnya sering datang ke kantor, tapi waktu itu bertujuan mengantar makanan untuk Nandarsa. pacarnya dulu.

Meika telah menyelesaikan masakan yang akan ia bawakan untuk Juno, ia meletakkan makanan yang sudah di tutup rapat pada kotak makan, Kemudian ia masukan ke dalam tas kecil yang biasa untuk membawa makanan ke butiknya.

Meika sedang sibuk memilah-milih baju yang akan ia kenakan untuk ke kantor Juno. “harus yang bagus sih, harus rapi pokoknya Meika harus cantik.” gumam Meika pada dirinya sendiri.

“WAHH BAGUS NIH.” Meika heboh, menatap takjub baju yang sangat anggun dimata Meika.

kemudian Meika bergegas mencobanya, namun ternyata tidak muat, itu sudah kekecilan. “ah! gak muat. emangnya gue gendutan, ya?”

“engga ah, dasar bajunya aja yang makin lama makin mengecil.” ucapnya lagi pada diri sendiri.

kemudian Meika meletakkan kembali baju itu pada tempatnya.

kembali mencari baju yang bagus. Meika baru sadar setelah melihat jarum jam dinding menunjukkan pukul sebelas lebih sepuluh menit, ternyata ia sudah lama sekali berdiri di depan lemari ini.

dengan cepat Meika bergegas menggunakan baju seadanya, “biarlah yang penting pas dan nyaman.”

selesai memakai baju yang pas dan nyaman pada tubuhnya, Meika memoles sedikit make-up pada wajah mulusnya.

Meika berlari memasuki mobilnya, memutar kunci mobil dan mobil itu berjalan menyusuri jalanan kota yang ramai namun tidak padat.

“jangan macet ya please! bisa kena omel kak Juno gue kalau telat nganter makan siangnya.”

jarak rumah Juno dari kantornya tidak begitu jauh. hanya membutuhkan waktu sekitar 20 menit tapi itu kalau jalanan lancar, kalau macet bisa sampai setengah jam atau bahkan lebih.

sesampainya di kantor Meika berjalan santai, kedatangan Meika di sambut ramah oleh karyawan-karyawan kepercayaan Juno.

“selamat siang, ibu meika.” sapa karyawan yang melewati Meika, dengan ramah Meika menjawab sapaan karyawan itu “iya, siang.” tidak lupa senyumnya mengembang.

tidak sedikit pula yang lewat melewati Meika namun hanya diam, setelah mereka kira jarak Meika dan dirinya sudah lumayan jauh karyawan itu mengeluarkan suaranya “tumbenan tuh bu Meika datang.” “iya, gak tau deh.” jawab temannya.

“pak Juno, ada kan?” tanya Meika pada sekertaris Juno.

“oh ada bu, masuk saja. lagi gak ada tamu, kok.”

Meika mengangguk, “terima kasih.”

Meika membuka pelan pintu ruangan besar Juno, kemudian Meika memasuki ruangan itu. mendapati Juno sedang mengetik di atas laptopnya. “masih sibuk ya, kak?”

Juno masih belum sadar. matanya masih fokus ke depan menatap kurus laptopnya. ia belum tau kalau Meika sudah berada di ruangannya.

“PERMISI BAPAK JUNO.” meika meninggikan suaranya. sedetik kemudian Juno menatap ke arah suara itu, Juno tersenyum menatap Meika. tangannya melambai mengisyaratkan Meika untuk duduk di depannya.

Jantung Meika berdetak tiga kali lebih cepat dari biasanya, “kok, kak Juno manis gini sih?” batin Meika.

Meika berjalan mendekati Juno kemudian duduk di kursi yang di depan Juno.

“udah lama?” tanya Juno, namun pandangannya tetap fokus pada laptopnya.

“baru, kok.”

Juno mengangguk, “tunggu bentar, ini nanggung.”

Sembari menunggu Juno menyelesaikan pekerjaannya, Meika tidak tinggal diam. matanya melihat-lihat seluruh ruangan Juno, banyak foto-foto Juno bersama rekan kerjanya, namun tidak ada satupun foto Juno yang bersama dirinya. Meika tersenyum tertahan “jangan berharap lebih, Meika.” ucapnya dalam hati.

“dahhhh!” Juno munutup laptop, kemudian ia letakkan di meja sebelah kirinya.

“bawa apa?” tanya Juno pada Meika

“spaghetti, kamu mau, kan?” tanya Meika pelan-pelan. kemudian Juno mengangguk. Meika lega.

Meika membuka satu persatu kotak makan. ternyata tak hanya spaghetti saja yang Meika bawa. tapi ada buah dan juga cake di sana.

Juno memakan makanan yang telah di siapkan Meika “enak.” kata Juno, Meika mengangguk ia tersenyum lega.

“habis ini langsung pulang?”

di tengah-tengah makannya Juno bertanya, namun pandangan Meika justru kebibir Juno. Meika mengambil satu lembar tissue, memajukan sedikit tubuh bagian atasnya kemudian ia usapkan tissue itu pada bibir suaminya, “kamu makan kaya anak kecil deh kak, belepotan kemana-mana ini.” gumamnya. ia masih belum sadar bahwa Juno tengah menatap dalam matanya dengan jarak yang lumayan dekat.

“iy—ehh, engga. aku mau ke butik dulu.” Meika tersadar, kemudian dengen cepat ia memundurkan tubuhnya.

Juno tertawa tertahan, “gemes” batinnya.

Pagi yang cerah. sekitar satu minggu yang lalu Juno sudah melakukan aktivitas seperti biasanya, termasuk ke kantornya. iya, dia sudah seminggu ini masuk kantor. sifatnya ke Meika masih sama, dingin. namun tidak terlalu dingin, ada perubahan sama yang dulu, “lumayan lah.” kata Meika.

keduanya tengah duduk dikursi meja makan, sebelum berangkat ke kantor seperti biasa, Juno akan menyantap sarapan pagi buatan Meika. keduanya sibuk dengan piringnya masing-masing.

hingga tiba-tiba Meika mengeluarkan suara. “siang kamu mau makan di kantor? mau aku siapain sekarang biar langsung kamu bawa?”

“di anter aja, nanti.”

Meika bingung, di antar bagaimana? maksudnya, ini gue nganter makanan ke kantornya kak juno, nanti?

“gimana, kak?”

“jam makan siang, lo antar ke kantor gue.”

kemudian Meika mengangguk. entah ini ada makhluk ghaib apa yang merasuki tubuh suaminya, sehingga lelaki itu tiba-tiba saja menyuruh Meika untuk datang ke kantornya.

padahal, biasanya sangat dilarang. semenjak menikah dengan Juno Meika dilarang menginjakkan kaki di kantornya. kalau sebelumnya sering datang ke kantor, tapi waktu itu bertujuan mengantar makanan untuk Nandarsa. pacarnya dulu.

Meika telah menyelesaikan masakan yang akan ia bawakan untuk Juno, ia meletakkan makanan yang sudah di tutup rapat pada kotak makan, Kemudian ia masukan ke dalam tas kecil yang biasa untuk membawa makanan ke butiknya.

Meika sedang sibuk memilah-milih baju yang akan ia kenakan untuk ke kantor Juno. “harus yang bagus sih, harus rapi pokoknya Meika harus cantik.” gumam Meika pada dirinya sendiri.

“WAHH BAGUS NIH.” Meika heboh, menatap takjub baju yang sangat anggun dimata Meika.

kemudian Meika bergegas mencobanya, namun ternyata tidak muat. itu sudah kekecilan. “ah! gak muat. emangnya gue gendutan, ya?”

“engga ah, dasar bajunya aja yang makin lama makin mengecil.” ucapnya lagi pada diri sendiri.

kemudian Meika meletakkan kembali baju itu pada tempatnya.

kembali mencari baju yang bagus. Meika baru sadar setelah melihat jarum jam dinding menunjukkan pukul sebelas lebih sepuluh menit. ternyata ia sudah lama sekali berdiri di depan lemari ini.

dengan cepat Meika bergegas menggunakan baju seadanya, “biarlah yang penting muat dan nyaman.”

selesai memakai baju yang pas dan nyaman pada tubuhnya, Meika memoles sedikit make-up pada wajah mulusnya.

Meika berlari memasuki mobilnya, memutar kunci mobil dan mobil itu berjalan menyusuri jalanan kota yang ramai namun tidak padat.

“jangan macet ya please! bisa kena omel kak Juno gue kalau telat nganter makan siangnya.”

jarak rumah Juno dari kantornya tidak begitu jauh. hanya membutuhkan waktu sekitar 20 menit tapi itu kalau jalanan lancar, kalau macet bisa sampai setengah jam atau bahkan lebih.

sesampainya di kantor Meika berjalan santai, kedatangan Meika di sambut ramah oleh karyawan-karyawan kepercayaan Juno.

“selamat siang, ibu meika.” sapa karyawan yang melewati Meika, dengan ramah Meika menjawab sapaan karyawan itu “iya, siang.” tidak lupa senyumnya mengembang.

tidak sedikit pula yang lewat melewati Meika namun hanya diam, setelah mereka kira jarak Meika dan dirinya sudah lumayan jauh karyawan itu mengeluarkan suaranya “tumbenan tuh bu Meika datang.” “iya, gak tau deh.” jawab temannya.

“pak Juno, ada kan?” tanya Meika pada sekertaris Juno.

“oh ada bu, masuk saja. lagi gak ada tamu, kok.”

Meika mengangguk, “terima kasih.”

Meika membuka pelan pintu ruangan besar Juno, kemudian Meika memasuki ruangan itu. mendapati Juno sedang mengetik di atas laptopnya. “masih sibuk ya, kak?”

Juno masih belum sadar. matanya masih fokus ke depan menatap kurus laptopnya. ia belum tau kalau Meika sudah berada di ruangannya.

“PERMISI BAPAK JUNO.” meika meninggikan suaranya. sedetik kemudian Juno menatap ke arah suara itu, Juno tersenyum menatap Meika. tangannya melambai mengisyaratkan Meika untuk duduk di depannya.

Jantung Meika berdetak tiga kali lebih cepat dari biasanya, “kok, kak Juno manis gini sih?” batin Meika.

Meika berjalan mendekati Juno kemudian duduk di kursi yang di depan Juno.

“udah lama?” tanya Juno, namun pandangannya tetap fokus pada laptopnya.

“baru, kok.”

Juno mengangguk, “tunggu bentar, ini nanggung.”

Sembari menunggu Juno menyelesaikan pekerjaannya, Meika tidak tinggal diam. matanya melihat-lihat seluruh ruangan Juno, banyak foto-foto Juno bersama rekan kerjanya, namun tidak ada satupun foto Juno yang bersama dirinya. Meika tersenyum tertahan “jangan berharap lebih, Meika.” ucapnya dalam hati.

“dahhhh!” Juno munutup laptop, kemudian ia letakkan di meja sebelah kirinya.

“bawa apa?” tanya Juno pada Meika

“spaghetti, kamu mau, kan?” tanya Meika pelan-pelan. kemudian Juno mengangguk. Meika lega.

Meika membuka satu persatu kotak makan. ternyata tak hanya spaghetti saja yang Meika bawa. tapi ada buah dan juga cake di sana.

Juno memakan makanan yang telah di siapkan Meika “enak.” kata Juno, Meika mengangguk ia tersenyum lega.

“habis ini langsung pulang?”

di tengah-tengah makannya Juno bertanya, namun pandangan Meika justru kebibir Juno. Meika mengambil satu lembar tissue, memajukan sedikit tubuh bagian atasnya kemudian ia usapkan tissue itu pada bibir suaminya, “kamu makan kaya anak kecil deh kak, belepotan kemana-mana ini.” gumamnya. ia masih belum sadar bahwa Juno tengah menatap dalam matanya dengan jarak yang lumayan dekat.

“iy—ehh, engga. aku mau ke butik dulu.” Meika tersadar, kemudian dengen cepat ia memundurkan tubuhnya.

Juno tertawa tertahan, “gemes” batinnya.